Friday, February 26, 2010

"Oh Sahabat"

Teringat seorang sahabat yang begitu membuatku terpana dengan kesehariannya tempo dulu, dulu sekali.
Aku selalu iri dengan apa yang ada pada dirinya. Ya, aku iri dengannya. Iri, pun bangga dengannya. Memang kadang selalu begitu
Dirinya yang dulu "alim"; rajin ibadah, shalat di pertigamalam pun tak pernah ketinggalan, ia anggap itu adalah sebuah kebutuhan hidup. Puasa sunnah senin kamis juga sudah menjadi kewajiban baginya. rajin belajar dan tak pernah mendapatkan nilai di bawah delapan. Menakjubkan. Sungguh aku iri ketika itu. Namun, keadaan itu kini sudah berbalik. Aku sering bertanya dalam hati, “dirimu yang dulu itu sekarang di mana? hilang kemana? di makan zamankah?”
sungguh kejamkah zaman telah memberangus unggah-ungguh, tindak-tanduknya yang sopan pada siapa saja, tak pernah muncul dari mulutnya hewan seisi kebun binatang, apalagi sampai mencaci-maki orang lain, tak pernah ia lakukan itu.
Dan sekarang?. sekarnag dia berubah total dari yang dulu.
“Waktu, kalau boleh aku minta kembalikan dia seperti dulu lagi!!!”

Sempat beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya, namun apa yang terjadi dengannya Ketika itu? Aku tidak menyangka kalau dia sudah berubah drastis, tanpa canggungnya dia tawarkan minuman keras padaku.
“Maaf, Wan, aku tidak minum lagi”.

Aku tempo dulu yang ia ajari dan yang ia perkenalkan padaku huruf-huruf hija’iyah hingga aku bisa membaca al-qur’an, aku dulu yang olehnya di kenalkan seorang ustadz, hingga aku sedikit mengetahui ajaran agama islam, aku yang dulu buta akan sejarah para nabi, sejarah Khulafaurrasyidin maupun sahabat-sahabat nabi dan sejarah orang-orang shaleh, dan aku bisa merasakan nikmatnya ber-Islam, nikmatnya masuk islam selayaknya aku memasuki rumah tempat tinggalku sendiri. Akupun jauh dari minuman memabukkan. Aku bersyukur bertemu dengannya.
Tapi, dia sekarang? Lihatlah, teman, dia sekarang berubah total.
Saat aku tanya, “Ini kah kehidupanmu sekarang?”
"Iya, emang kenapa"? Jawabnya cuek.
Melihat itu rasanya dada sesak, muntap bukan mantap. Kaget.
Kenapa sahabatku yang dulu sopan dan lembut tutur katanya dan bahkan berbicara dengan cewek pun dia gemetar hingga keluar keringat dingin. Dan bahkan sekarang ia dengan yang bukan mahram pun seakan tak ada batas dalam pergaulan. Naudzubillah...Hidupnya amburadul tak karuan “Inikah hidup, Tuhan.?”
Di mana penjagaan-Mu terhadap hamba-hambaMu yang shalih, dimana Engkau saat dia melakukan maksiat? dimana, dimana engkau, Tuhan?. Aku bingung memikirkan ini semua. Tak sampai otakku. Sudahlah.
memang benar kata si fulan, kamu adalah produk lingkungan. Lingkungan lah yang akan menentukan dan mendekte gerak-gerik, tingakah laku siapa saja, namun aku rasa tidak semua orang adalah produk lingkungan, terganung individu masing-masing, bagaimana dia berada dalam lingkungan itu, diakah yang akan merubah lingkungan itu? atau diakah yang akan di rubah oleh lingkungan itu sendiri atau dia bahkan ‘Made in’ lingkungan tertentu?.
Tapi kenyataan yang kita lihat sekarang, lingkungan bejat kita akan bejat, lingkungan baik akan baik pula. Sebagaimana pepatah mengatakan, berteman dengan penjual minyak wangi sedikit banyak akan tertular wanginya.

Sedikit kabar angin tentang dia yang sampai ke telingaku, bahwa orang tuanya cerai. “Broken home”, batinku. Aku dengar dari kawanku, bahwa Irwan tidak tahan dengan hidup yang ia jalani, yang tiap harinya harus mendengarkan percekcokan kedua orang tuanya, yang tiap harinya harus melihat piring terbang di rumahnya, ibunya tak pernah memasak buat bapaknya. Suami pulang kerja, yang seharusnya isteri menjadi tempat berkeluh kesah sambari mengusap peluh sang suami pulang kerja. Tapi nyatanya sang isteri tidak di dapatkannya di rumah saat sang suami sampai di rumah. Sang isteri pulang hingga malam dan di antar pemuda tinggi besar, entah siapa. Laksana panggung sandiwara dalam film maupun sinetron. Dan betapa biadab sang isteri.
Sebegitu besarkah pengaruh dunia persinetronan?.

“Aku ini suami mu kurang apa?, kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal sudah ku cukupi” Geram sang suami, Dongkol dalam hati.

“Bukan kah papa di kantor dari pagi sampai sore bisa bercanda ria dengan perempuan-perempuan kantor, mama sebagai istri papa merasa kurang di perhatikan, papa yang tiap minggu harus keluar kota, urusan ini lah, urusan itu lah, mama tidur sendirian, jangan kira mama tidak tau apa yang papa lakukan selama di luar kota sana. Papa membawa perempuan kantor itu kan?, yang Papa bilang, itu klien, kien, klien. Tai’..!!!” kotoran pun keluar dari mulut sang isteri berbentuk kata-kata, protes sang isteri saat percekcokan.
Plakkk!!!. Telapak tangan mendarat di pipi sang isteri. Kasar sekali.

Begitulah tiap harinya Irwan menyaksikan tontonan di rumahnya. Betapa tidak ngilu hatinya?.

Seorang awam menjadi sasran naik turunnya iman, tiap hari bahkan tiap menit maupun detik selalu berubah-ubah, yang kadang naik dan kadang turun bak roda pedati, kadang berada di atas dan suatu ketika juga berada di bawah.
Melihat apa yang ada pada sahabatku sekarang aku serasa tidak terima, kenapa harus sahabatku yang menanggung cobaan seperti itu?, kenapa harus sahabatku yang menjadi begitu?, sungguh tidak disangka!!.

Perjalanan hidup ini memang berliku, sebagaimana yang telah terjadi pada Irwan.
Pernah dia curhat padaku kenapa dia berubah total seperti itu, berada dalam kenistaan hidup. Alhamdulillah ternyata dia sendiri menyadarinya kalau dia itu sudah berubah total dari yang ada dulu.
“Kawan, itu lah hidup, yang tiap saat sang pengasih tak akan pernah berhenti mengasihimu, kawan.
Sang pengasih masih sayang padamu, kawan. Bentuk kasih sayangNya yaitu ujian yang Dia timpakan padamu itu, kawan.
Kamu harusnya bangga karena sang pengasih masih memberikan perhatian padamu, kawan.
Kamu harus tegar dan sabar. Berdoa saja lah semoga sang pemberi kasih sayang masih juga mengasihi ke dua orang tuamu”.

Sahabat, hidup memang penuh liku. Jalan berbatu menghalangi perjalanan, jalan bertanjak, dan kita mau tidak mau harus menempuhnya. Kuat apa tidak menempuh tanjakan itu, Kita harus dapat menyingkirkan halang rintang itu, hingga kita bisa melanjutkan perjalanan ini dengan nyaman tanpa merasa ada halangan. Sabar dan tegar yang kita butuhkan.
Sahabat, semoga engkau kembali pada jalan yang benar. Dalam kehidupan ini ada jalan kebenaran dan jalan kebatilan atau kesesatan. Hidup adalah pilihan. KataNya, “Faman syaa’a fal yu’min waman syaa’a fal yakfur”, Silahkan kamu mau mukmin atau kafir. Tapi ingat, ada konsekuensinya, yaitu surga dan neraka. Semoga engkau bisa memilihnya, sahabat.
Semoga engkau kuat menghadapi hidup ini. semoga dirimu yang dulu kembali pada dirimu lagi, kembali kepada jalan kebenaran, bukan jalan kesesatan.

Mawardi

Kota Para Duta,
Kalela Kadema. Kairo
2010-02-19


Friday, October 30, 2009

Abu Qosim dan Sepatu Pembawa Petaka

Jaman dahulu kala di Bagdad ada seorang yang kaya. Abu Qosim namanya. Abu Qosim mempunyai sepasang sepatu yang selama tujuh tahun belum pernah di gantinya. Dan ketika sepatu itu di lepas dari kakinya keluarlah serabut dan serpihan kain yang tidak mengenakkan. Bisa di bayangkan, selama tujuh tahun sepatu itu belum pernah di ganti. Para tetanggapun melihatnya dengan penuh melas dan iba, tak jarang juga ada yang mengumpat melihat Abu Qosim memakainya. Suatu hari salah satu tetangganya bertanya kepada Abu Qosim: “Hai Abu Qosim, apakah sebaiknya kamu buang saja sepatumu yang butut itu, kamu ini kan orang kaya, apakah tidak kepikiran untuk membeli sepatu yang baru lagi?”
“Benar katamu”, kata Abu Qosim. “Aku akan membeli sepatu baru lagi dengan izin Allah Swt”, Sambung Abu Qosim.


Suatu hari Abu Qosim sehabis dari WC umum. Dia keluar dari WC tiba-tiba melihat di samping sepatu bututnya ada sepasang sepatu yang baru dan bagus tentunya, sangka Abu Qosim ada orang yang dermawan yang membelikan sepatu itu untuknya. Bergegas Abu Qosim memakai sapatu baru itu kemudian pulang kerumahnya.
Dan ternyata sepatu baru yang di pakai Abu Qosim adalah milik seorang hakim yang pada waktu itu datang ke WC umum juga. Terang saja sang hakim marah ketika itu karena yang ada hanyalah sepatu butut. Kemudian sang hakim menanyakan masyarakat sekitar. “siapa sih yang tidak tahu sepatunya Abu Qosim itu?”. kemudian sang hakim mengutus pembantunya untuk memanggil Abu Qosim supaya menghadapnya.
Sampailah pembantu sang hakim dengan membawa Abu Qosim ke rumah sang hakim, langsung ditamparnya Abu Qosim oleh sang hakim.” Ini namanya pencurian” kata sang hakim. Tanpa banyak bicara, Abu Qosim di masukkan kedalam penjara sampai beberapa waktu. Kemudian di keluarkanlah Abu Qosim dari penjara setelah membayar denda yang telah di tetapkan.
Setelah Abu Qosim keluar dari penjara. Ia sambil membawa sepatu bututnya, dia merenung sejenak mengenai sepatu itu, kemudian muncul lah akal untuk menghanyutkan sepatu itu di sungai. Di tenggelamkanlah sepatu butut itu kedalam sungai yang kebetulan sungai itu banyak ikannya. Datanglah dua orang ke sungai untuk memancing ikan. Di dapatkannya sepatu butut itu oleh salah satu dari dua orang pemancing itu. “Siapa yang tidak tahu sih sepatu bututnya Abu Qosim?”. Di kiranya Abu Qosim kehilangan sapatu itu, si pemancing berniat baik, di antarkannya sepatu itu ke rumah Abu Qosim. Sampailah pemancing itu di rumah Abu Qosim, pintu tertutup, namun jendela terbuka lebar. Di lemparkanlah sepatu itu melalui jendela, sepatu jatuh tepat mengenai almari kaca milik istri Abu Qosim. Sontak Abu Qosim kaget melihat sepatu butut yang sudah ia tenggelamkan di sungai itu bertengger di almari isterinya yang sudah pecah dan berantakan. “Dasar..!!!! sepatu pembawa petaka, kamu kan sudah aku hanyutkan di sungai, kenapa bisa balik lagi!!!” di caci-makinya sepatu butut itu sambil menampari mukanya sendiri.
Pada suatu malam Abu Qosim mencari cara lain supaya sepatu bututnya tidak membawa petaka lagi. Keluarlah Abu Qosim dari rumahnya sambil mengendap-endap, kemudian di galilah lobang tapat di dekat pagar rumah tetangganya. Ternyata ada seseorang yang mendengar Abu Qosim sedang menggali sesuatu. Sontak ia mengira bahwa Abu Qosim akan merobohkan rumah tetangganya. Melaporlah orang yang melihat perbuatan Abu Qosim tadi kepada polisi, datanglah polisi ke tempat kejadian.” kamu itu orang sinting, ya? Mau kamu apakan rumah tetanggamu itu di gali-gali?. Apa kamu mau merobohkan rumah tetanggamu sendiri?” Umpat Polisi pada Abu Qosim. Tanpa babibu, Abu Qosim pun di borgol kemudian di masukan ke dalam penjara selama bebarapa hari. Keluarlah Abu Qosim dari penjara setelah membayar denda yang di tetapkan dalam pengadilan.
Suatu hari Abu Qosim naik loteng untuk menyimpan sepatunya. Di letkkanlah sepatu itu di loteng, dia pikir sudah aman di situ dan tidak akan membuat masalah lagi. Entah karena kebetulan, pada suatu hari ada seekor anjing yang naik loteng kemudian memungut sepatu itu. Di gondol lah sepatu itu dengan mulutnya sambil keliling loteng. Kemudian anjing itu melemparkannya ke bawah. Sepatu jatuh tepat di kepala orang yang sedang di bawahnya. Celakalah orang yang ada di bawah hingga masuk rumah sakit. “Siapa sih yang tidak kenal sepatu bututnya Abu Qosim?” Maka Abu Qosim pun di adili, karena ia tersangka utama dari kecelakaan itu, yaitu si empunya sepatu. Abu Qosim di tuntut untuk membayar semua biaya rumah sakit dan memberikan nafkah kepada anak isteri orang yang terkena sepatunya, sampai orang itu sembuh dari sakit. Hingga terkuraslah harta Abu Qosim.
Sudah tidak ada jalan lain bagi Abu Qosim untuk menjauhkan sepatu bututnya itu dari hadapannya. Menghadaplah Abu Qosim kepada seorang hakim. Abu Qosim berkata “ Wahai sang hakim, sudikah kiranya engkau mau menuliskan hitam di atas kertas putih sebagai pernyataan bahwa sepatu ini bukan lagi milikku, supaya nanti jika sepatu ini membuat orang terluka, aku sudah bebas dari hukuman?”. Mendengar perkataan Abu Qosim, sang hakim hanya tersenyum dan menuruti apa kata Abu Qosim.*

*Aku terjemah dari buku kursus Bahasa Arab yang di ambil dari buku Qishoshul Arob


Kairo 29 okt 2009

Mawardi

Thursday, October 1, 2009

Semua Meneteskan Airmata Untukku

Kawan, maukah kau aku ceritakan perjalananku menuju negeri ini. Negeri mesir. Negeri para Nabi. Negeri Seribu Menara, kata mereka.
Ya, akan ku ceritakan dalam beberapa baris, bukan dalam bentuk novel, karena aku bukan Habiburrahman el Shirazy yang pandai merangkai kata, mengukir kalimat hingga menjadi beratus dan bahkan beribu-ribu halaman:
Kawan, ketika mengikuti seleksi ujian masuk Universitas al-Alzhar Mesir, aku masih belum ada bayangan tentang Mesir. Bahkan, waktu aku sudah siap; siap fisik, mental, dan materi untuk berangkat aku tidak ada bayangan juga, masih gelap. Yang ada hanyalah, bahwa mesir negeri yang “wah” dengan islamnya. Begitu saja tidak lebih. “Wah” yang bagaimana? Aku pun tidak bisa mendeskripsikannya. Dan itu salahku kenapa aku dulu tidak mau mencari tau informasi ke-mesiran.

Kadang di sini aku menyesal. Menyesal kenapa aku sampai Mesir, [ha! Menyesal?]. Tapi anehnya ternyata justeru aku senang, senang dengan kehidupan sini yang begitu 'santainya'; aku senang bisa berbahasa arab, meskipun tidak amat lancar yang kadang kalau berbicara dengan orang sini, mesir, mereka masih geleng kepala minta pemahamanku. Aku bisa mengenal sedikit dari lagu mesir, aku bisa merasakan indahnya sungai Nile di malam hari, aku bisa merasakan lelahnya mendaki puncak Tursina, yang konon di sana Nabi Musa. as. pernah minta pada Allah swt agar bisa melihat-Nya, “Robby arini andur ilaik” Allah pun menjawab, “Kamu nggak bakalan bisa melihatku, lihatlah gunung itu jika masih tetap dalam kondisinya mungkin kamu akan bisa melihatku” namun akhirnya gunung itu luluh lantak dan Nabi Musa pun tersungkur dan akhirnya mohon ampun.
Dan satu lagi, disini aku bisa masak sendiri, yang bisa di nikmati oleh teman-temanku. Meskipun selama tiga tahun ini aku masak belum pernah ada kaum Hawa yang mencicipinya, yang penting kaum Adam sudah menyatakan "wah enak masakanmu".

Kadang-kadang aku terbuai dengan hangatnya selimut di musing dingin, dan aku benci dengan ganasnya matahari di musim panas hingga aku malas untuk keluar apartemen. Ya, malas, malas untuk hadir di kegiatan-kegiatan di Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia, Kairo, apalagi sampai menghadiri pengajian di masjid al-Azhar, yang akrab biasa di sebut 'talaqi'.
Kembali pada perjalananku menuju kairo, mesir.
Taukah kawan?, ketika itu bapakku mendo'akanku tepat di depan pintu sembari menengadahkan tangan setelah koper dan segala macam keperluan aku persiapkan, dan siap ku jinjing keluar rumah. Aku menangis di pangkuan ibu setelah aku medengar do'a bapak yang diiringi tangis beliau. Ibu pun turut menangis dan seluruh kerabatku ikut meneteskan air mata.

Kawan, baru kali pertama itu aku menangis di pangkuan ibuku. Aku turut menangis saat mendengar isak tangis ibuku. Ah, sungguh mengharukan, yang sampai detik ini aku tak dapat menghilangakan kenangan itu, ya aku nggak bakalan menghilangakan moment itu, karena moment itu adalah moment yang teramat penting jikalau ku lupakan.
Sesampainya di bandara Soekarno-Hatta, cengkareng. Bapakku dan seluruh kerabat yang mengantarku kembali meneteskan air mata. Lambaian tangan berseling lelehan air mata. Barat hati ini meninggalkan indonesia, berat hati ini meninggalkan kampung halaman, berat hati ini meninggalkan bapak, ibu, kakak, adik dan kerabat, berat meninggalkan suara alam desa, berat meninggalkan suasana pegunungan yang sejuk, berat, berat dan berat sekali. Namun demi cita-cita dan ambisiku yang terkubur. Ya, yang terkubur lama, memang sejak kecil aku berandai-andai bisa menuntut ilmu di universitas al-Azhar, mesir.
Aku balas lambaian tangan mereka, ku paksakan untuk senyum, namun air mata ini mengiringi senyumku. Ya, senyumku di iringi lelehan airmata.
Tangis ibu, bapak dan seluruh keluarga adalah tangis yang mengandung sebuah doa; nak pulanglah segera, jangan lama-lama kau di sana, kami yang di sini menanti kembalimu membawa ilmu yang bermanfaat untuk nusa dan bangsa sekalipun kau bangun desamu. Ah, sungguh mengharukan ketika itu,. Aku berharap kejadian itu akan selalu terngiang dan menjadikan pulihnya semangat untuk menuntut ilmu yang berguna tuk masa depan nanti.
Maafkan aku, bapak, ibu dan seluruh yang mengharapkan kembaliku, aku tidak segera kembali sesuai apa yang di harapkan. Dua kali aku gagal. Dan yang seharusnya tahun depan aku pulang tapi aku harus menempuh hidup di sini selama kurang lebih tiga tahun lagi. Ya, tigat ahun waktu yang singkat untuk aku di sini. Namun, waktu yang begitu lama untuk bapak, ibu dan orang-orang yang mengharapkan dan menungguku. Semoga detik ini, menit ini dan jam ini, Bapak, Ibu, dan seluruh kerabat belum beranjak dari sajadah sembari menengadahkan tangan mereka untuk mendoakanku disini.
Semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan kesabaran untuk bangkit kembali, amin.

Friday, September 11, 2009

Sebutir Kurma

Ya, sebutir kurma. Berbuka puasa hanya dengan beberapa butir kurma di negeri para Nabi mengingatkanku dahulu di kampungku waktu buka puasa. Dulu ketika menjelang buka puasa aku pasti bertanya pada ibuku; “Bu' sekarang bukanya pakai apa?” , “ya itu yang ada di meja”, jawab ibu singkat. Sejurus kemudian aku menggerutu karena buka puasanya hanya itu-itu saja ketika itu. {hanya itu!!!!?} padahal yang ketika itu untuk ta'jil-annya saja sudah ada kolak pisang, bakwan, kue apem, dan ada buah mangga, terus untuk makam malamnya sering ibu masak ayam. Aku juga masih saja kurang syukur. Dan tak jarang juga piring atau gelas yang sehabis aku pakai aku letakkan dengan kerasnya hingga menimbulkan bunyi “ prakk”, sebagai bentuk protesku pada ibu. Mengingat itu semua kadang air mata ini mengalir dengan sendririnya. “Sampai segitunya” batinku sekarang.Namun sekarang berbuka puasa hanya dengan sebutir kurma aku merasa sudah cukup dan bersyukur sekali.
Aku yang jauh dari ibu dan bapak, yang kalau mau makan aku harus masak sendiri. Dan apalagi ketika menjelang buka puasa dan waktu sahur tiba, aku harus repot-repot menyiapkan segala macam yang ingin aku masak. Eh, belum lagi di coolkas sama sekali tidak ada bahan yang bisa untuk di masak. Waduh, harus belanja kepasar, deh.
Alloh.....terimakasih, Engkau masih karuniakan aku badan yang sehat dan sempurna lagi tanpa ada cacat apapun di anggota badanku. Dan Engkau masih memperkenankan aku untuk berbicara dengan orangtuaku meskipun dengan jarak unun jauh disana, yang penting mereka kedua orangtuaku masih tetap sehat wal 'afiyat.
Kadang hati ini di selimuti rindu yang mendalam karena ingin sekali bertemu dengan ke dua orangtua ku, sudah tiga kali puasa dan insya Alloh tigakali lebaran juga aku tidak “sungkem” pada bapak ibu, aku hanya bisa “sungkem” lewat telpon yang kadang suara di seberang sana sama sekali tidak jelas, itupun kalau dana untuk telpon ada, kalau tidak ada ya sekedar SMS-an. Ya, semoga dengan ini menambah kecintaanku pada ibu dan bapakku. Yang dulu ketika di rumah, sama sekali aku tidak pernah mensyukuri dan sadar bahwa aku masih punya ibu dan bapak, Astaghfirullah. Memang jarak yang jauh kadang membuat kita semakin tambah cinta, tamba sayang dan ada rasa kangen. ya. Kangen dan rindu yang begitu mendalam.
Yang dulu sama sekali tidak ada rasa kangen. Atau ingin sekedar ngobrol atau bahkan bercanda dengan ibu bapak. Tapi perasaan itu baru muncul sekarang. Yang sekarang ketika aku dan ibu bapakku berjauhan.
Sekali lagi terimakasih, Alloh. Karena Engkau masih bisa memberika umur yang panjang kepada ibu dan bapakku dan terimakasihku karena Engkau masih sadarkan aku untuk selalu mengingat mereka. Aku mohon pertemukan aku nanti dengan ibu bapaku dalam naungan cinta dan kasih sayang-Mu. Begitu juga pertemukan aku dengan kakak dan adikku nanti dalam gendengan tangan mesra-Mu yang ketika kami dulu di rumah sering bertengkar hanya karena persoalan “sepele”. Dan baru merasakan juga aku di karuniai seorang kakak yang baik hati, yang tiap bulannya harus meluangkan waktunya untuk pergi mondar-mondir ke BANK mentransfer uang untukku, astaghfurullah.....baru sadar juga aku kalau aku ini mempunyai seorang kakak yang baik hati. Betapa dan betapanya aku ini.
Segudang nikmat-Mu Engaku limpahkan padaku, Alloh. Terimakasih Alloh. Harus dengan apa aku haru membalas semua ini pada-Mu, Allah. Dan harus dengan apa juga aku harus membayar semua ini kepada ibu bapak dan kakakku nanti. Dan betapa tidak tahu malunya aku ini yang sudah besar masih saja mengandalankan kiriman uang untuk sekedar uang jajan? Ah, hati ini kalau mengingat itu serasa sakit, namun aku tidak mampu. [Tidak mampu!!?] Atau itu hanya kilahku saja karena aku bermalas-malasan di sini. Alloh, ampuni aku.
Allah, istiqomahkan aku di jalan ini; menuntut ilmu di negeri orang. Sabarkan aku di kala cobaan-Mu datang kuatkan jasmani dan rohaniku agar aku bisa menjalankan tugas ini dengan sempurna. Dan Berikan aku yang terbaik untuk aku persembahkan pada mereka yang senantiasa berbuat lebih padaku, tak lain adalah Ibu Bapakku dan kakakku. Dan tak lupa seluruh keluarga di rumah yang senantiasa menudkungku di sini. Alloah, aku tahu Engkau maha pengampun atas segala dosa, kepada siapa lagi aku harus meminta ampun selain Engaku?.Tiada lain hanya Engkau, Alloh.

Gadis Kampung Badui

Syaima, ya namanya Syaima. Gadis kampung badui si penjual roti kering pinggir jalan yang anggun. Aku tahu namanya Sayima dari orang sekitar yang sering memanggilnya begitu. Tinggi semampai dengan kulit putih, hidung mancung, bermata kebiru-biruan, dan alisnya bak bulan tanggal muda. “Kurasa blasteran Inggris-Mesir” celetuk temanku yang berjalan di sampingku. Kalau boleh berlebihan dia memang mirip dengan Putiri Diana, ratu Inggris korban kecelakaan di sebuah terowongan di samping pont de l'Alma, paris. Hanya saja Syaima memakai jilbab dan baju kurung khas Timur Tengah.
Di bawah terik matahari, ia menjajakan roti keringnya. “Yalla 'isy syams”1 teriaknya menawarkan dagangannya di pinggiran jalan.
Setiap kali aku berjalan melewati jalan yang sama, yaitu ketika aku mau berangkat berjamaah ke masjid waktu shalat dzuhur dan aku mau berangkat ke masjid waktu shalat asar pun dia masih setia duduk di pinggir jalan dengan roti keringnya yang ia letakkan di atas papan. Papan yang terbuat dari batang kurma sebesar jari tangan yang kemudian di rangkai menjadi keranjang berbentuk kotak berukuran setengah meter. Tak bosannya ia tatkala ada orang lewat di depannya pasti berteriak “ Yalla 'ishy syams!!!!”.
Suatu ketika terbesit dalam hatiku ingin membeli roti kering pada si gadis itu. Mendekatlah aku padanya, lemparan senyum dari bibirnya. Sungguh membuat detak jantung ini berdetak lebih dari biasanya. Dan aku pun membalas senyumnya.
“bikam lil ishy ya ablah'?2 tanyaku pada gadis badui itu dengan bahasa arabku yang masih kelihatan sekali logat Indoneisa-nya. “bi wahid geneh'?3 jawabnya njeplak dengan logat Arabn-ya. aku membeli roti keringnya dan ku bawa kerumah. Dalam perjalanan ke rumah ingatanku masih saja pada gadis itu, apa lagi ketika dia melemparkan senyumnya. Ah, aku tidak tahu apa arti senyumnya itu, apa karena dia melihat orang asing yang sedang mendekatinya, atau..?. Tapi ini tidak biasanya sebagaimana gadis Mesir yang tidak mudah untuk melemparkan senyum pada orang asing, apalagi yang bukan mahramnya. Ah sungguh berjubel perasangka di hati .

“Ah, ternyata keras sekali rotinya” kataku sewaktu aku membuka bungkusnya dan ku makan roti yang bentuknya mirip piring itu. Waktu itu aku sendiri belum pernah melihat bagaimana orang mesir memakan roti itu.
“ Giginya orang mesir terbuat dari baja kali, hehehe”. Joke temanku yang juga mencoba mencicipi roti kering itu. Humm, sejenak aku berfikir. “O iy aku ada susu, Makan aja sambil di celupin ke susu” “wah ide bagus tuh. Iya ternyata enak juga pake susu” kata Joni, temanku.
***

Beberapa minggu kemudia aku ingin sekali makan roti kering itu lagi, tapi padahal temen-temenku bilang “cukup sekali ini saja aku makan roti kering ini”. Aku mencoba untuk membeli roti itu di tempat biasa, di pinggir jalan yang di jajakan oleh gadis badui itu. Kali ini aku hanya membeli sedikit, hanya tiga saja. Karena temen-temenku pada bilang tidak akan memakan roti itu lagi karena terlalu kerasnya.
Seminggu sekali aku membeli roti dari gadis badui itu. Entah sangat kebetulan sekali ketika aku sedang membeli rotinya tiba-tiba saja hujan gerimis membasahi pasir kering, “ha, kairo hujan?” Batinku dalam hati. Aku bengong beberapa detik. Dahiku mengerut, aku memikirkan sesuatu. Dan seketika itu aku ikut membantu mengangkat papan yang di atasnya ada roti dagangannya untuk di bawa ke tempat yang aman dari hujan gerimis. “syukron”4 katanya padaku sambil melemparkan senyum. “Afwan”5 jawabku pelan sambil senyum juga.
Gerimis masih menghiasi kairo. Kurang lebih sepuluh menit kairo di gemparkan dengan gerimis, orang-orang berlarian sambil mengembangkan senyum, senang sekali rasanya. “ Hadza min fadhli Robbi”6 kalimat itu terlontar dari bapak-pabak yang merelakan bajunya basah dengan gerimis menuju entah kemana. “Ah, orang Mesir nggak pernah lihat hujan, pantesan saja girangnya minta ampun sekali lihat gerimis” batinku berceloteh.
O, iya di sampingku ada gadis badui hampir saja aku lupa. Akirnya aku berkenalan dengan gadis itu, kami kenalan. “Namaku Ardian Ibrahim ” kataku. “Syaima namaku” katanya sambil pasang senyum bibirnya.
Ya, namanya Syaima, berarti selama ini aku tidak salah tebak, orang-orang sekitar sering panggil dia dengan sebutan itu. Kami bicara panjang lebar selama hujan belum berhenti. Dia bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Umurnya sekarng sembilan belas tahun, dia tidak melanjutkan kuliah karena orangtuanya tidak mamapu, nama ayahnya bernama Abdou. Sedangkan ibunya sudah meninggal karena kangker. Ayahnya bekerja sebagai penjaga apartemen, dan kakaknya, Ahmad Samir dua tahun lebih tua, bekerja sebagai pemulung.
Pertemuanku hari itu di akhiri dengan berhentinya gerimis. “Yah, gerimisnya kok udahan sih!!” batinku. Ingin rasanya aku ngobrol banyak dengannya. Tapi ya sudah, yang penting dia sudah mau berkenalan denganku. Kami mengadakan janji ketemu. Jarang sekali gadis mesir yang mau di ajak ngobrol dengan orang asing yang bukan mahramnya.
Waktu terus berjalan aku semakin dekat dengan Syaima. Sekali aku di ajak mampir ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat ia menjajakan rotinya. Ayahnya, Abdou senang sekali aku bisa berkunjung kerumahnya. “Nawwar bika”7 kata Abdou sambil mengangkat kedua tangannya kemudian di arahkan tangannya padaku. “Bi Nuri kum”8 jawabku sambil pasang senyum dan ku ulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Rupanya Syaima bercerita pada bapaknya ketika aku membantunya saat hujan gerimis membasahi tanah pasir itu. Aku di jamu di rumahnya dengan jamuan ala Mesir.
***
sudah tiga hari ini aku tidak melihat dia berjualan di tempat biasanya, ada apa gerangan? Hati ini semakin gundah, kangen dan selalu terbayang. Ingin sekali rasanya aku bertemu dengannya detik ini. Perasaan ini tidak tenang. Ah, ada apa dengan diriku, aku kan bukan siapa-siapanya, aku hanya seorang pembali rotinya saja yang kemudian aku memberikan pertolongan pada waktu hari hujan? Apa rasa ini yang di namakan cinta? Apa sih ciri-ciri orang jatuh cinta itu?
Malam hari di landa rasa tak menentu, tidak bisa tidur hanya karena memikirkannya.
Sehabis shalat dzuhur ku beranikan untuk berkunjung ke rumahnya. Dan ternyata kosong, rumahnya tidak ada satu orang pun. Aku tanyakan pada tetangga dekat Syaima. katanya keluarga Abdou sudah pulang ke kampungnya karena di usir sama yang punya rumah kontrakan karena sudah beberapa bulan nunggak uang bulanan. “Memang saudara siapanya Abdou?” Tanya tetangga. Akupun kebingungan mau menjawab apa pada tetangganya itu. Padahal antara kami tidak ada hubungan apa-apa, hanya sekedar pernah berkunjung sekali itu saja. “Saya temannya Syaima”, jawabku. “Ada sesuatu yang penting saudara?' Tanyanya, “kalau ada sesuatu yang penting nanti saya sampaikan pada Syaima”.tambahnya. “Iya pak nanti saya mau nitip surat untuk syaima”. “Boleh... boleh.. kebetulan besok lusa saya juga mau pulang ke kampung”.
“ Terimakasih, pak. Kalau gitu saya ntitip surat buat Syaima. , kita ketemuan di depan rumah ini besok sambil saya bawakan surat itu.” pintaku. “Dengan senang hati saya akan sampaikan surat saudara”. jawabnya.
Terimakasih pak. Saya pamit dulu.

Sesampainya di rumah aku menulis surat untuk Syaima,

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Syaima, apa kabarmu? Mudah-mudahan masih dalam naungan kasih sayang-Nya
Sejak aku bertemu denganmu waktu itu, hati ini gundah dan resah. Namun mulut ini kelu untuk mengatakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan ketika itu.
Rindu ini selalu hadir sejak kamu pergi ke kampungmu. Hadirmu dalam mimpiku membuat aku terdorong untuk menuliskan rangkaian kata. Ya, sebuah kalimat pernyataan sebagai bukti aku benar-benar mencintaimu. aku mencintaimu karena Allah, Sayima.
Aku tahu kamu tidak akan kembali lagi ke kota ini kecuali ada sebuah keajaiban yang datang dari-Nya. Tapi paling tidak surat ini bisa melegakan hati piluku yang memendam tumpukan rasa. Rasa cintaku padamu yang aku kubur selama ini. Dan hari ini aku bongkar lewat rangakaian kata-kata. Meskipun rangkaian kata ini menjadi ilusi cintaku.
Sekian, dari Sang empunya hati pilu,

Ardian Ibrahim.


Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh




Tuesday, September 8, 2009

Di Mana Cinta Akan Berlabuh?

Tak dapatku rasakan apa yang ia rasakan saat ini, yang jelaslah aku sekarang dalam keadaan bimbang dan gontai untuk mengungkapkan perasaan ini padanya, aku pun bertanya pada diri sendiri; “perasaan apa ini”. tak ada jawaban. Hanya bergeming di lubuk terdalamku. Dan semakin berjubel saja, seakan meledak sebentar lagi.
Otakpun berputar-putar bak lebah di taruh dalam botol. Tak ada hasil, sia-sia berfikir sesuatu yang tidak rasional.
Namun ada secercah dukungan untuk ku ungkapkan perasaan itu.mungkinkah sama perasaan ini dengan perasaan yang ia miliki detik ini?
berjuta rasa telah hedir, namun satupun tak terungkap hingga menghasilkan bertubi kepenatan tak terhingga karena ada benteng. Jarak dan waktulah yang menghalangi telur untuk menetas, hingga lahirlah ungkapan suci nan abadi.
Aku di hantui oleh masa depan. Aku takut akan masa depanku yang suram, namun itu belum pasti. Haruskah ku beranikan untuk melankah?
dimana nyaliku ini, dimana letakkan kelaki-lakianku ini hingga aku tak dapat berkata apapun untuk dirinya, yang kini mungkin sama seperti apa yang aku rasakan juga. Seklai lagi, karena aku gamang dengan masa depanku.
Ah, namun itu hanya sebuah perasaan saja, perasaan yang menghunjam dan menyiksa jiwa.

Aku harus bertahan sampai ada sebuah keyakinan dalam kantong hati yang bernama cinta. Bukan cinta sembarang cinta, tapi cinta suci yang di landasi karena cinta Ilahi.
Namun kesabaran ini terasa menipis. akan kah aku kuat menghadapai semua ini.?
hari demi hari ku selalu di rundung kidung kerinduan dan nestapa yang tiada belas-kasihannya melemahkan jiwa.
Melemahkan jiwa? Ya melemahkan jiwa.
bukankah cinta Illahi justeru akan menguatkan..?
aku berharap nestapa ku ini tidak mendekatkanku pada nafsu belaka, ya nafsu berahi yang kadang menjerumuskan pada lubang hitam. Lubang apa entah aku tak tahu. Yang akhirnya akan mengarah pada maksiat dan dosa. Ya dosa, dosa yang kadang nikmat, namun hanya sesaat.
Sekalipun rasa ini terus menghunjam jiwa, jiwa yang lemah tak berdaya. Apakah ini yang di namakan cinta?. Namun jika rindu ini melemahkan jiwa, aku yakin ini bukan cinta , tapi ini adalah nafsu belaka yang selalu memojokan diriku supaya terjerumus dalam kubangan cinta dusta yang hanya mengandalakan nafsu berahi. Seklai lagi nafsu berahi yang tak terkendali.

Lubuk hati inipun belum tepat dan tetep untuk tegak dan lurus dalam menyokong kesucian cinta. Pandangan hanya tertuju pada nafsu. Lagi-lagi nafsu yang aku miliki, aku yakin ini bukan cinta , tapi nafsu yang aku miliki. Nafsu berahi yang selalu membuntutiku di mana saja aku berada, akankah aku bisa mengalahkan nafsu ini?
Semoga Dia, Robb penggenggam cinta bisa membantuku dalam mengalahkan nafsu ini.
Aku mohon pada-Mu, Roob sang empunya kasih, kasihanilah aku. Beri aku sedikit dari cinta-Mu sajalah, tak lebih. Dan kuatkan aku dalam menghadapi gejolak nafsu ini hingga aku dapat cinta yang sebenarnya, hingga batin ini benar-benar dalam selimut cinta tanpa ada nafsu angkara murka. Lagi-lagi nafsu. Salahkah nafsu? Tidak salah. Ia hanyalah sebuah rasa yang di titipkan-Nya pada hamba untuk di menej, ya di atur sedemikian rupa, hingga menuju nafsulmuthma'innah.
Keridhoan-Mu, robb yang aku mau.

Ijinkanlah hati ini untuk menentukan di pelabuahan mana cinta ini akan mendarat dan kemudian berlayar dengan sauh kebahagiaan mawaddah wa rahmah.
Siapa saja dia si penerima cinta hasil biasan hati ini, semoga dia berada dalam naungan-Mu ya Robb,
siapa dia yang akan mendampingi sekeping hati ini, hati lain yang mana yang menyatu padu tak terpisah hingga di surga nanti. Cinta yang sejatilah yang akan ku mau, bukan cinta yang berselimutkan nafsu ammaratu bissu'.
Nafsu ammaratu bissu' selalu saja berada di belakang untuk mengintai mengintai. Namun nafsul Muthma'inah jangan biarkan lepas. Semoga nafsu bejat itu terkalahkan.
siapa yang bisa mengalahkannya?
dirikulah yang akan mengalahkannya sendiri dengan bantuan dan Ridho Ilahi Robbi.
Robbi....
Aku mohon jadikan perasaan ini menjadi sebuah ungkapan yang menyejukkan hati orang yang aku labuhkan perasaan ini bersamanya.
aku ingin cinta abadi, secuil dari Cinta kasih-Mu saja.


Saturday, September 5, 2009

Gadis Kampung Badui

Syaima, ya namanya Syaima. Gadis Kampung Badui si penjual roti kering pinggir jalan yang anggun. Aku tahu namanya Sayima dari orang sekitar yang sering memanggilnya begitu. Tinggi semampai dengan kulit putih hidung mancung, bermata kebiru-biruan, dan alis bak bulan tanggal muda. “Kurasa blasteran Inggris Mesir” celetuk temanku yang berjalan di sampingku. Kalau boleh berlebihan dia memang mirip dengan Putiri Diana ratu Inggris korban kecelakaan di sebuah terowongan di samping pont de l'Alma, paris. Hanya saja Sayaima memakai jilbab dan baju kurung khas Timur Tengah.Di bawah terik matahari, ia menjajakan roti keringnya. “Yalla 'isy syams”[1] teriaknya menawarkan dagangannya di pinggiran jalan.
Setiap kali aku berjalan melewati jalan yang sama, yaitu ketika aku mau berangkat berjamaah ke masjid waktu shalat dzuhur dan aku mau berangkat ke masjid waktu shalat asar pun dia masih setia duduk di pinggir jalan dengan roti keringnya yang ia letakkan di atas papan. papan terbuat dari batang kurma sebesar jari tangan yang kemudian di rangkai menjadi keranjang berbentuk kotak berukuran setengah meter. Tak bosannya tatkala ada orang lewat di depannya pasti berteriak “ Yalla 'ishy syams!!!!”.
Suatu ketika terbesit dalam hatiku ingin membeli roti kering pada si gadis itu. Mendekatlah aku padanya, lemparan senyum dari bibirnya. Sungguh membuat detak jantung ini berdetak lebih dari biasanya. Dan aku pun membalas senyumnya.
“bi-kam lil ishy ya ablah'?[2] tanyaku pada gadis badui itu dengan bahasa arabku yang masih kelihatan sekali logat Indoneisa-nya. “bi wahid geneh'?[3] jawabnya njeplak dengan logat Arabn-ya. aku membeli roti keringnya dan ku bawa kerumah. Dalam perjalanan ke rumah ingatanku masih saja pada gadis itu, apa lagi ketika dia melemparkan senyumnya. Ah, aku tidak tahu apa arti senyumnya itu, apa karena dia melihat orang asing yang sedang mendekatinya, atau..? tapi ini tidak biasanya sebagaimana gadis Mesir yang tidak mudah untuk melemparkan senyum pada orang asing, apalagi yang bukan mahramnya. Ah sungguh berjubel perasangka di hati .

“Ah, ternyata keras” kataku sewaktu aku buka bungkusnya dan ku makan roti yang bentuknya mirip piring itu. Waktu itu aku sendiri belum pernah melihat bagaimana orang mesir memakan roti itu.
“ Giginya orang mesir dari baja kali, hehehe”. Joke temanku yang juga mencoba mencicipi roti kering itu. Humm, sejenak aku berfikir. “O iy aku ada susu, Makan aja sambil di celupin ke susu” “wah ide bagus tuh. Iya ternyata enak juga pake susu” kata Joni, temanku.

Beberapa minggu kemudia aku ingin sekali makan roti kering itu lagi, tapi padahal temen-temenku bilang “cukup sekali ini saja aku makan roti kering ini”. Aku mencoba untuk membeli roti itu di tempat biasa, di pinggir jalan yang di jajakan oleh gadis badui itu. Kali ini aku hanya membeli sedikit, hanya tiga saja. Karena temen-temenku pada bilang tidak akan memakan roti itu lagi karena terlalu kerasnya.
Seminggu sekali aku membeli roti dari gadis badui itu. Entah sangat kebetulan sekali ketika aku sedang membeli rotinya tiba-tiba saja hujan gerimis membasahi pasri kering, “ha, kairo hujan?” Batinku dalam hati. Aku bengong beberapa detik. Dahiku mengerut seolah memikirkan sesuatu. Dan seketika itu aku ikut membantu mengangkat papan yang di atasnya ada roti dagangannya untuk di bawa ke tempat yang aman dari hujan gerimis. “syukron”[4] katanya padaku sambil melemparkan senyum. “Afwan”[5] jawabku pelan sambil senyum juga.
Gerimis masih menghiasi kairo. Kurang lebih sepuluh menit kairo di gemparkan dengan gerimis, orang-orang berlarian sambil mengembangkan senyum, senang sekali rasanya. “ Hadza Min fadhli Robbi”[6] kalimat itu terlontar dari bapak-pabak yang merelakan bajunya basah dengan gerimis menuju entah kemana. “Ah, orang Mesir nggak pernah lihat hujan, pantesan saja girangnya minta ampun sekali lihat gerimis” batinku berceloteh.
O iya di sampingku ada gadis badui hampir saja aku lupa. Akirnya aku berkenalan dengan gadis itu, kami kenalan. “Namaku ” kataku. “Syaima namaku” katanya sambil pasang senyum bibirnya.
Ya, namanya Syaima berarti selama ini aku tidak salah tebak, orang-orang sekitar sering panggil dia dengan sebutan itu. Kami bicara panjang lebar selama hujan belum berhenti. Dia bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Umurnya sekarng sembilan belas tahun, dia tidak melanjutkan kuliah karena orangtuanya tidak mamapu, nama ayahnya bernama Abdou. Sedangkan ibunya sudah meninggal karena kangker. Ayahnya bekerja sebagai penjaga apartemen, dan kakaknya, Ahmad Samir dua tahun lebih tua, bekerja sebagai pemulung.

Pertemuanku hari itu di akhiri dengan berhentinya gerimis. “Yah, gerimisnya kok udahan sih!!” batinku. Ingin rasanya aku ngobrol banyak dengannya. Tapi ya sudah, yang penting dia sudah mau berkenalan denganku. Kami mengadakan janji ketemu. Jarang sekali gadis mesir yang mau di ajak ngobrol dengan orang asing yang bukan mahramnya.
Waktu terus berjalan aku semakin dekat dengan Syaima. Sekali aku di ajak mampir ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat ia menjajakan rotinya. Ayahnya, Abdou senang sekali aku bisa berkunjung kerumahnya. “Nawwar bika”[7] kata Abdou sambil mengankat kedua tangannya kemudian di arahkan tangannya padaku. “Bi Nuri kum”[8] jawabku sambil pasang senyum dan ku ulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Rupanya Syaima bercerita pada bapaknya ketika aku membantunya saat hujan gerimis membasahi tanah pasir itu. Aku di jamu di rumahnya dengan jamuan ala Mesir.
***
sudah tiga hari ini aku tidak melihat dia berjualan di tempat biasanya, ada apa gerangan? Hati ini semakin gundah, kangen dan selalu terbayang. Ingin sekali rasanya aku bertemu dengannya detik ini. Perasaan ini tidak tenang. Ah ada apa dengan diriku, aku kan bukan siapa-siapanya aku hanya seorang pembali rotinya saja yang kemudian aku memberikan pertolongan pada waktu hari hujan? Apa rasa ini yang di namakan cinta? Apa sih ciri-ciri orang jatuh cinta itu?
Malam hari di landa rasa tak menentu, tidak bisa tidur hanya karena memikirkannya.
Sehabis shalat dzuhur ku beranikan untuk berkunjung ke rumahnya. Dan ternyata kosong, rumahnya tidak ada satu orang pun. Aku tanyakan pada tetangga dekat Syaima. katanya keluarga Abdou sudah pulang ke kampungnya karena di usir sama yang punya rumah kontrakan karena sudah beberapa bulan nunggak uang bulanan. “Memang saudara siapanya Abdou?” Tanya tetangga. Akupun kebingungan mau menjawab apa pada tetangganya itu. Padahal antara kami tidak ada hubungan apa-apa, hanya sekedar pernah berkunjung sekali itu saja. “Saya temannya Syaima”, jawabku. “Ada sesuatu yang penting saudara?' Tanyanya, “kalau ada sesuatu yang penting nanti saya sampaikan pada Syaima”.tambahnya. “Iya pak nanti saya mau nitip surat untuk syaima”. “Boleh... boleh.. kebetulan besok lusa saya juga mau pulang ke kampung”.
“ Terimakasih, pak. Kalau gitu saya ntitip surat buat Syaima. , kita ketemuan di depan rumah ini besok sambil saya bawakan surat itu.” pintaku. “Dengan senang hati saya akan sampaikan surat saudara”. jawabnya.
Terimakasih pak. Saya pamit dulu.

Sesampainya di rumah aku menulis surat untuk Syaima,

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Syaima, apa kabarmu? Mudah-mudahan masih dalam naungan kasih sayang-Nya
Sejak aku bertemu denganmu waktu itu, hati ini gundah dan resah. Namun mulut ini kelu untuk mengatakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan ketika itu.
Rindu ini selalu hadir sejak kamu pergi ke kampungmu. Hadirmu dalam mimpiku membuat aku terdorong untuk menuliskan rangkaian kata. Ya, sebuah kalimat pernyataan sebagai bukti aku benar-benar mencintaimu. aku mencintaimu karenya Allah.
Aku tahu kamu tidak akan kembali lagi ke kota ini kecuali ada sebuah keajaiban yang datang dari-Nya. Tapi paling tidak surat ini bisa melegakan hati piluku yang memendam tumpukan rasa. Rasa cintaku padamu yang aku kubur selama ini. Dan hari ini aku bongkar lewat rangakaian kata-kata. Meskipun rangkaian kata ini menjadi ilusi cintaku.
Sekian, dari Sang empunya hati pilu,

Ardian Ibrahim.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

kairo 5 september 2009

[1] Isy syams; roti kering mesir. Bentuknya seperti piring yang gemuk, maksud "yalla isy sams"; ayo roti keringnya.....
[2]bikam lil ishy ya ablah?: Berapa harga roti ini wahai, gadis?
[3]bi wahid geneh': Dengan harga satu pound[mesir]
[4]syukron; terimakasih
[5]Afwan: Artinya bermacam2, bisa balasan dari ucapan syukron, bisa juga kalimat permohonan maaf.
[6]Hadza min fadhli Robbi : Ini adalah karunia ilahi
[7]Nawwar bi-ka: Ungkapan orang mesir untuk menyanjung tamu yang mengunjungi rumahnya sebagai tanda kehormatan . Yang kurang lebih artinya; sungguh tempat ini menjadi terang dan bercahaya dengan datangnya anda kemari.
[8]Bi Nuri kum: Jawaban untuk ungkapan Nawwar bika


Thursday, September 3, 2009

Sebutir Kurma

Ya, sebutir kurma. Berbuka puasa hanya dengan beberapa butir kurma di negeri para nabi mengingatkanku dahulu di kampungku waktu buka puasa. Dulu ketika menjelang buka puasa aku pasti bertanya pada ibuku; “bu' sekarang bukanya pakai apa?” , “ya itu yang ada di meja”, jawab ibu singkat. Sejurus kemudian aku menggerutu karenabuka puasanya hanya itu-itu saja ketika itu, {hanya itu!!!!?} padahal yang ketika itu untuk ta'jil-annya saja sudah ada kolak pisang, bakwan, kue apem, dan ada buah mangga, terus untuk makam malamnya sering ibu masak ayam. Aku juga masih saja kurang syukur. Dan tak jarang juga piring atau gelas yang sehabis aku pakai aku letakkan dengan kerasnya hingga menimbulkan bunyi “ prakk”, sebagai bentuk protesku pada ibu. Mengingat itu semua kadang air mata ini mengalir dengan sendririnya. “Sampai segitunya” batinku sekarang.
Namun sekarang berbuka puasa hanya dengan sebutir kurma aku merasa sudah cukup dan bersyukur sekali.
Aku yang jauh dari ibu bapak, yang kalau mau makan aku harus masak sendiri. Dan apalagi ketika menjelang buka puasa dan waktu sahur tiba, aku harus repot-repot menyiapkan segala macam yang ingin aku masak. Eh, belum lagi di coolkas sama sekali tidak ada bahan yang bisa untuk di masak. Waduh, harus belanja kepasar, deh. Alloh.....terimakasih, Engkau masih karuniakan aku badan yang sehat dan sempurna lagi tanpa ada cacat apapun di anggota badanku. Dan Engkau masih memperkenankan aku untuk berbicara dengan orangtuaku meskipun dengan jarak unun jauh disana, yang penting mereka kedua orangtuaku masih tetap sehat wal 'afiyat.
Kadang hati ini di selimuti rindu yang mendalam karena ingin sekali bertemu dengan ke dua orangtua ku, sudah tiga kali puasa dan insya Alloh tigakali lebaran juga aku tidak sungkem pada bapak ibu, aku hanya bisa sungkem lewat telpon yang kadang suara di seberang sana sama sekali tidak jelas, itupun kalau dana untuk telpon ada, kalau tidak ada ya sekedar SMS-an. Ya, semoga dengan ini menambah kecintaanku pada ibu bapakku. Yang dulu ketika di rumah, sama sekali aku tidak pernah mensyukuri dan sadar bahwa aku masih punya ibu dan bapak, Astaghfirullah. Memang jarak yang jauh kadang membuat kita semakin tambah cinta, tamba sayang dan ada rasa kangen. Yang dulu sama sekali tidak ada rasa kangen. Atau ingin sekedar ngobrol atau bahkan bercanda dengan ibu bapak. Tapi perasaan itu baru muncul sekarang. Yang sekarang ketika aku dan ibu bapakku berjauhan.
Sekali lagi terimakasih, Alloh. Karena Engkau masih bisa memberika umur yang panjang kepada ibu bapakku dan terimakasihku karena Engkau masih sadarkan aku untuk selalu mengingat mereka. Aku mohon pertemukan aku nanti dengan ibu bapaku dalam naungan cinta dan kasih sayang-Mu. Begitu juga pertemukan aku dengan kakak dan adikku nanti dalam gendengan tangan mesra-Mu yang ketika kami dulu di rumah sering bertengkar hanya karena persoalan sepele. Dan baru merasakan juga aku di karuniai seorang kakak yang baik hati, yang tiap bulannya harus meluangkan waktunya untuk pergi mondar-mondir ke BANK mentransfer uang untukku, astaghfurullah.....baru sadar juga aku kalau aku iniada seorang kakak yang baik hati. Betapa dan betapanya aku ini.
Segudang nikmat-Mu Engaku limpahkan padaku, Alloh. Terimakasih Alloh. Harus dengan apa aku haru membalas semua ini pada-Mu, Alloh. Dan harus dengan apa juga aku harus membayar semua ini kepada bapak ibu dan kakakku nanti. Dan betapa tidak tahu malunya aku ini yang sudah besar masih saja mengandalankan kiriman uang untuk sekedar uang jajan? Ah, hati ini kalau mengingat itu serasa sakit, namun aku tidak mampu. [Tidak mampu!!?] Atau itu hanya kilahku saja karena aku bermalas-malasan di sini. Alloh, ampuni aku.
Alloh, istiqomahkan aku di jalan ini; menuntut ilmu di negeri orang. Sabarkan aku di kala cobaan-Mu datang kuatkan jasmani dan rohaniku agar aku bisa menjalankan tugas ini dengan sempurna. Dan Berikan aku yang terbaik untuk aku persembahkan pada mereka yang senantiasa berbuat lebih padaku, tak lain adalah Ibu Bapakku dan kakakku. Dan tak lupa seluruh keluarga di rumah yang senantiasa menudkungku di sini. Alloh, aku tahu Engkau maha pengampun atas segala dosa, kepada siapa lagi aku harus meminta ampun selain Engaku?.Tiada lain hanya Engkau, Alloh.


Tuesday, July 21, 2009

Ijinkan Jariku Menari

Lihatlah jari-jariku menari dengan indahnya
merangkai kata hasil imajinasi

merenung sejenak jaripun berhenti menari
“uh, dia hadir sebagai pengganggu saja”, batinku
aku ingin sendiri, menari-nari dengan leluasa tanpa ada yang mengagguku
duh, kenapa dia hadir lagi
menjengkelkan!!!enyahlah dirimu dariku, jangan ganggu aku.
tuh kan, screensaversnya muncul lagi!!!
jaripun menggerutu, tak bisa menari
udah, sana pergi..!!!

Asik.....sekarang dia pergi
leluasa aku menari
sendiri tak ada yang jahili
senyum tipis kelingking kananku
melihat ibu jari membuat spasi; ctok..ctok..ctok
“duh capek”. katanya
“ayo semangat”, kata kelingking kanan yang selalu aktif dengan A,Q dan Z-nya.
“ups, ternyata kita mengganggu tidur seseorang”, kata si telunjuk yang tak mau lepas dengan F dan J-nya
“sssseett!!!” jari manis kasih peringatan pada ibu jari supaya pelan saja penjet spasinya.
“udah ya, capek”. kata si ibu jari.
“huu..!!! paling besar sendiri kok tanaga kecil”. kata si jari tengah.
“ya udah kita berhenti saja, kasihan ibu jari”. kata si kelingking
“maklum ibu sudah tua, nggak kuat lama-lama”. kata ibu jari.
kita sudahi saja ya...?
“ya.!!!” kata si jari manis, girang, sambil loncat ketanda titik, ctik.





Saturday, July 18, 2009

Harapan-Harapan Besar

Duapuluh tiga tahun yang lalu, lahirlah aku ke dunia dengan pendengaran dan penglihatan yang belum semprna dan juga mulut ini masih dalam kebisuan, hanya bisa menangis dan menangis.
Jerit tangisku malam itu mengganggu tidur di malam hening. Tak ada yang tau mauku, kerena aku hanya bisa menangis dan menangis. Namun ada seorang wanita yang paling berjasa dalam kelahiranku, dia peka, bisa merasakan dan faham apa mauku, yaitu ibuku. Ibu sontak langusng faham, bahwa si jabang bayi sedang kehausan atau lapar. kemudian meneteklah aku dengan semangat, kemudian diamlah aku dari tangis. Jasa Ibu tak tertandingi. maafkan aku, ibu, jika sudah mengganggu tidurmu.....
Dua puluhtiga tahun silam aku menjalani hidup ini dengan seadanya, mengalir apa adanya, tanpa babibu aku protes ini itu dengan berbagai pertanyaan; kenapa aku dilahirkan? kenapa aku ini di lahirkan di desa tidakdi kota?, kenapa aku tidak tampan seperti Adam Jordan? dan Bla bla bla. seabrek pertanyaan itu tidak ku lontarkan.
Hidup dengan selalu menjalani apa yang di perintahkan tanpa protes dan tanpa melawan dan lebih-lebih tidak melaksanakannya. Aku sendiri merasa bahwa hidup ini memanglah untuk mengabdikan kepada sang pencipta. Bersukur karena sudah di lahirkan ke dunia hingga aku menikmati indahnya dunia seisinya, aku bisa merasakan apa itu enak apa itu tidak enak dan sebagainya.
kehidupan yanga fana ini kadang menipu aku, aku terbuai rayu setan, rayuan gombal yang meninabobokan aku hingga tertidur dalam selimut biadab yang penuh nafsu. Na'udzubilah!!!

Kurang lebih 19 tahun kujalani hidup di desa, sisanya di pondok pesantren dan di luarnegeri. Tak henti-hentinya aku bersyukur, aku bisa menjalani sebagian masa-masa pendidikanku di luar negeri. Namun tak lupa juga aku harus berterimakasih kepada pesantren yang telah mengajariku, yang secara tidak langsung memberikan petunjuk padaku hingga aku terbang keluar negeri. Tapi sebenarnya yang paling berjasa adalah kakakku sendiri, yang kalau dia tidak menunjukkan aku untuk menuntut ilmu di pesantren, mana mungkin aku bisa ke luar begeri, namun itu semua adalah kehendak Alloh semata, dialah yang menakdirkan ku terbang hingga di negeri para Nabi ini. Rasa syukur teruslah mengalir tanpa nenti, meskipun dalam keadaan susah.
Teringat masa-masa kecil dulu hidup di desa, bermain bersama teman-teman, asik sepertinya. serasa masa kecil itu tak kan pernah habis, pikirku dulu. sempat ku berfikir ketika kecil dulu, ketika itu aku baru kelas 3 Madrasa Ibtidaiyah, setingkat sekolah dasar; kapan ya aku ini sudah tidak lagi bersekolah, aku bosan dengan sekolah aku bosan dengan buku-buku sekolah, aku bosan melihat bangku-bangku sekolah, aku bosan melihat pak guru dan buguru, aku ingin segera keluar dari dunia pendidikan sekolah ini, kemudian aku bisa hidup selayaknya orang dewasa yang bisa bebas lepas tanpa ada kungkungan dari pihak lain, tanpa ada omelan orangtua karena aku tidak belajar dan tidak mengerjakan PR dan lain sebagainya.
Argh, itu hanya fikiran-fikiran yang kotor saja, itu hanya fikiran-fikiran yang mandeg dan konyol, yang hanya berfikir sekali saja tanpa di selingi perenungan yang matang.
Setelah aku menginjak dewasa, masa-masa di jenjang sekolah menengah pertama; aku baru bisa berfikir pandangan ke depan, bagaiman aku ini nanti bisa menjadi orang yang bisa membangun daerahku, bagaimana saya harus menjadi orang yang sukses, bagaimana aku ini nanti hidup tidak hanya menjadi seorang petani sebagaimana orangtuaku, meskipun pekerjaan itu tidak hina bahkan malah suatu pekerjaan yang mulia. Namun aku ingin merubah generasiku nanti dengan generasi yang lebih mapan dan hidup nyaman, tidak sengsara sebagaimana yang orang tuaku rasakan menjadi petani. Hasil pertanian sering di tipu para tengkulak, dan sering di monopoli para penguasa kaya, dan masih banyak lagi orang yang ingin memanfaatkan kebodohan orangtuaku khususnya dan orang desa pada umumnya.
Akhir pendidikanku di tingkat menengah pertama mulai menancapkan Benih Super; aku harus bisa menjadi orang yang mandiri dan sukses, aku tidak mau menjadi seperti kedua orangtuaku aku harus hidup lebih tidak mengandalkan otot saja, tapi aku harus hidup mengandalkan otak yang ku miliki. Orang yang mengandalkan intelektualitas lebih mulia di bandingkan yang mengandalakan otot semata, orang yang mengandalakan otot semata karena tidak kemampuannya untuk memenuhi , mengisi otaknya dengan bacaan-bacaan, atau ilmu- ilmu yang ada di dalam buku dan akhirnya menjadi orang yang tidak tahu perkembangan zaman.
Mereka hanya mengandalkan kekuatan fisik tanpa menggunakan otak karena tidak pernah di isi dan di asah atau bahkan di praktekan, mereka tiap harinya berpeluh, kuras tenaga banting tulang, namun hasilanya sedikit. aku harus menjadi orang yang sukses dan bisa membangun masyarakat desaku nanti, aku harus bisa mambimbing dan mengajari mereka supaya para tengkulak dan para juragan tidak seenaknya menindas orang-ornag desa.
Namun tak lupa juga bimbingan agar tetap beristikomah di jalan agama yang di bawa Nabi Muhammad SAW, hingga mereka bisa memahami apaarti hidup di dunia yang tidak hanya sekedar bertani dan bertani, mencari harta semata hingga melupakan kehidupan akhirat, harta mamang penting, harta adalah sarana untuk menuju ibdah kepadaNya.
Harapan ini haruslah tercapai, semoga Robb semesta alam mengabulkan cita-cita ini, cita- cita mulia untuk membangun sebuah desa yang tertinggal menju desa yang maju, makmur dan menuju masyarakat yang taat kepada Robb pencipta alam.

MWrD
6 juli 2009

Sign by Dealighted - Coupons and Deals